Kamis, 10 Januari 2013



Jembatan Kaliketek
Jembatan besi yang membentang dari arah utara – selatan Sungai Bengawan Solo ini dibangun pemerintah colonial Belanda berfungsi ganda sebagai sarana transportasi kereta api dan kendaraan roda empat. Jembatan yang semula di atasnya membentang rel kereta api yang menghubungkan stasiun Jatirogo dan Bojonegoro ini dibangun dengan panjang 111 meter kira-kira tahun 1914 secara bersamaan dengan dibangunnya jalur kereta api lintas utara Jawa. Pada tahun 1998 jembatan ini sudah tidak difungsikan lagi oleh pihak PT KAI berbareng dengan sudah dihentikannya operasional kereta api jurusan Jatirogo - Bojonegoro.
Dalam sejarah perang kemerdekaan RI 1945-1949 jembatan ini menjadi area pertempuran antara pasukan Belanda yang bermarkas di Kepatihan (sekarang Jl. Hayam Wuruk, sebelah barat gereja Pantekosta) dan gerilyawan Tentara RI yang bermarkas di sebelah barat jembatan Kaliketek sisi utara.


 










Mushalla Ronggolawe
Terletak di Desa Sugihwaras RT 23 RW 3 Kecamatan Sugihwaras, menempati tanah milik (almarhum) H. Waidi bersama istrinya Hj. Sarmidah yang nota bene anggota Kompi II Ronggolawe Seksi Dihar yang kala itu dipimpin Lettu Dihar Ronggoprawiro.
Pendirian mushalla yang berdampingan dengan rumah H. Waidi yang sekaligus ditempati sebagai markas gerilya, semula hanyalah berupa bangunan dari bambu kemudian pada akhir pengakuan kedaulatan RI dari Belanda tanggal 27 Desember 1949 dilakukan rehab pertama yang mengganti bangunan dengan bahan  kayu jati dalam bentuk gladhag (panggung) yang sangat sederhana berukuran 7 x 7 meter persegi. Langgar atau mushalla dibangun kira-kira tahun 1949 – 1950 pada peristiwa perang Kemerdekaan RI antara 1945 -1949.

Nama Ronggolawe, khusus diberikan untuk mengenang jasa perjuangan para gerilyawan Kompi II Ronggolawe di wilayah Bojonegoro dan merupakan fasilitas tempat ibadah dari bagian markas kompi kala itu.

Dari tahun ke tahun mushalla ini terus dilakukan renovasi dari dana swadaya masyarakat sekitar maupun berbagai donasi yang berasal dari pemerintah kabupaten Bojonegoro, yang pada akhirnya merubah secara total bentuk bangunan aslinya dengan menambah beberapa fasilitas lain seperti tempat berwudlu, kamar kecil maupun teras depan, sehingga luas bangunan sekarang menjadi 9 x 13 meter persegi.